Senin, 10 Oktober 2011

TAK MENGIGAU


TAK MENGIGAU

Aku bangkis-bangkis. Tuhan bergoyang-goyang, di dada. Di jeda saat jantung sesaat menghentikan degabnya. Menepuk-nepuk kepala lalu meninabobo segenap ingatan. Kupikir barangkali inilah persinggahan terakhir; baring yang penghabisan, tidur yang tak butuh dibangunkan itu. Esoknya tapi, masih saja kutemukan pagi bersama sepiring nasi dan matahari yang semakin tua, semakin tak peduli, tubuh ini influenza atau sakit kepala.

Begitulah awalnya lalu keterusan di hampir tiap malam, di seringkali pagi. Tapi kali ini engkau tidur di sampingku, jadi kubiarkan diriku terayun-ayun pada bandul jam dinding. hingga mata dan seluruh tubuh terhisap bolam lampu lima watt, yang semenjak sore nangkring, merekam semua nafas yang kuciptakan bersama dirimu dan diriku yang lain. Dalam tidurmu, kau berulang menyebut satu nama. lalu satu demi satu kau tiupkan kepadaku. Dalam tidurku, dengkur menemu dentur yang paling pangkur.

Duhai siapa yang telah melewati cincin api. Membuat aliran darah bergolak, menggemuruh dari tulang ekor, melata menyusuri punggung, menyapu semua yang ada lalu meledakkannya di kepala. Aku terbangun. Kau terbangun. Lalu kita saling berebut menceritakan kisah yang sama, tentang seseorang yang suka berbisik dalam tidurnya. Tentang keberadaan yang terus diupayakan.

Lalu kau aku kembali tidur. Kembali saling membisikkan satu nama yang tak bakal habis meski dikunyah terus menerus. Belum sampai subuh, tuhan telah bosan bergoyang-goyang. Tidakkah kau juga.


02.10.2011