Kamis, 30 Maret 2017

PERGI, DI HARI JUMAT

PERGI, DI HARI JUMAT


tujuh kembang cengkeh
nyemplung ke wedang teh
mengapung lalu karam

lelaki tua duduk di beranda
minum wedangnya sendiri
menjelang malam tiba

matanya yang lelah terpejam
tubuhnya diam, tapi kursinya 
tetap bergoyang-goyang

bayangnya tidak lagi hitam --
sewarna dengan benda-benda 
yang telah ditinggalkannya.


2010 - 2017

Minggu, 19 Maret 2017

BUKAN DOA

BUKAN DOA


berpijak dari sini --matahari sore-- 
kuselesaikan senggamaku melalui telpon genggam,
lalu kukecup keningmu dengan pesan singkat.

kurang apa lagi?

baik, ganti celana dalammu dengan yang warna hitam,
jangan pernah lagi mengenakan yang merah padam,
apa lagi yang biru lebam.

kesentosaan adalah satu pilihan atas kesadaran,
sementara itu, sekian macam rasa sakit dan amarah
hanya akan membuat diri kian lemah.

mandi dan mencuci piring tentu saja jauh lebih baik,
ketimbang menjadi pikun di beranda.

tanpa caci maki.


2016 - 2017

Senin, 13 Maret 2017

DIMANA IBU

DIMANA IBU

ibu, ibu, engkau dimana,
dua belas gurindam telah tenggelam.

bersama ribuan pulau yang memanjang
dari barat sampai ke timur --
di antara dua naga yang sedang tidur.

ibu, ibu, engkau dimana,
di almari, gulungan peta makin berdebu

kami bukan lagi tulang belulang,
tapi cuma kumpulan noktah berserakan,
menjadi jejak langkah yang bimbang.

ibu, ibu, engkau dimana,
tembang pangkur terlalu lama dijemur.

di depan sumur, anakmu tetap ngotot,
berupaya keras menyalakan api.
katanya, "siapa tahu bisa untuk mandi"

ibu, ibu, engkau dimana,
apa lagi yang mesti dinyanyikan?

di dapur, anakmu yang lain mendengkur,
diterbangkan asap membubung tinggi,
bermimpi memukul-mukul panci.

ibu, ibu, engkau dimana,
sabdo palon dan noyo genggong marah.

di teras, dharmo gandul tersipu malu,
lalu dengan bekal selembar weda
mengubur diri sendiri di belakang istana.

ibu, ibu, engkau dimana,
usai lagu kebangsaan dikumandangkan
barisan bubar pindah ke lain negeri.


2014 - 2017

Kamis, 09 Maret 2017

SEPADAT ANGIN

SEPADAT ANGIN


sedapat mungkin sepadat angin, begitu katanya
sambil terus menelan kalimat lain yang tak pernah
bikin kenyang, tapi justru membuatnya selalu
lapar dan haus.

kalimat penyaksian itu, telah menjadi menu utama
sehari-hari. setidaknya ia tak lagi membaca tulisan
yang awalnya sulit dieja. 

kini, ia tahu apa yang mesti dilakukan, yang harus
dikerjakan, jika kenyataan yang berkait paut dengan 
jiwa raga mendadak hadir, bahkan jika kemudian
cuma kebetulan mampir.

hangat sejuknya tergantung cuaca, tapi yang pasti
ia hanya butuh berhembus saja -- pergi  pulang
tak terbaca.


2013 -- 2017