Minggu, 15 Juni 2014

SURAT UNTUK, NING

SURAT  UNTUK,  NING


Ning,

Satu kata dari pertemuan terakhir kita, masih terngiang. Seperti mewakili ribuan lainnya yang pernah kudengar dari mulutmu. Membuat selera makanku lenyap, tidurku tak teratur. Hingga orang-orang terdekat, saudara dan sahabat satu persatu menjauh dariku. Mereka telah mengucilkanku. Aku tak menyalahkan mereka, bagaimana mungkin mereka sanggup bertahan bergaul denganku yang nyaris tak pernah keluar rumah. Aku keluar hanya untuk hal-hal yang penting saja, seperti mengantar pesanan patung, membeli kebutuhan hidup dan satu dua kepentingan semacamnya. Hari-hari selanjutnya kulalui dengan asyik bersama diriku sendiri. 

Aku tahu satu kata itu tak pernah kau tujukan kepadaku. Satu kata itu, tentu saja untuk bedebah biadab yang telah membuatmu ternoda, membuatmu merasa benar-benar tak berharga. Tapi bukankah kita tak pernah bermaksud menjual diri sendiri. Ya aku tahu, seperti saat itu, sekarang pun,  kau tak akan mau mendengar kata-kataku, seperti saat itu. Padahal sudah ratusan kali kukatakan, bagiku kau masih seorang gadis yang suci, tapi yah, kupikir kau terlalu kejam dengan dirimu sendiri, Ning. Dan kini, kau aku lebih memilih menyendiri tanpa gairah hidup. Aku masih ingat betul saat kau mengatakannya dengan sorot mata yang membuatku tak percaya bahwa itu memang matamu, bahwa itu memang perkataanmu. Dengan intonasi yang tandas dan dagumu mengeras. Jahanam. Begitu katamu, lalu kau ulang lebih dari tiga kali, sebelum kemudian kau memintaku pergi dengan alasan yang tak pernah kumengerti.


Seminggu yang lalu, sembilan bulan setelah kepergianku. Setelah menyerahkan pesanan patung kepada seorang kolega, aku mengunjungi psikiater yang masih teman sekolahku saat SMA dulu. Kau masih ingat bukan, temanku satu bangku, si kutu buku berkacamata tebal itu, kukira hanya dialah kini satu-satunya sahabat dan sekaligus anggap saja psikiaterku. Kepadanya, sebenarnya  lebih pas jika disebut mencurahkan isi hati ketimbang dianggap sebagai konsultasi atas kondisi kejiwaanku. Jika sudah bertemu, kami biasanya bisa ngobrol sampai subuh, tapi malam itu, aku tak lama di rumahnya, sekedar bertegur sapa dan sedikit perbincangan yang tak begitu penting. Kira-kira sepeminuman teh kemudian, aku pamit pulang. Saat itu sudah menjelang tengah malam, aku berjalan menuju ke sebuah halte bis yang tak terlalu jauh dari rumah sahabatku itu. Tadinya aku mau lekas-lekas pulang, tapi kuurungkan. 

Entahlah, malam itu tiba-tiba aku ingin menikmati udara malam dengan batang terkahir, rokok kretekku. Dan kupikir masih ada paling tidak dua tiga bis yang bakal lewat ke arah rumah. Malam yang cerah, meski tadi sempat segumpal awan menghalangi sinar rembulan. Aku benarbenar menikmati malam dan nyaris semua pernakperniknya. Hingga tak terasa sudah lewat tengah malam, sisa rokokpun sudah kubuang. Bahkan aku tak tahu perginya lelaki tua yang tadi minta api untuk menyalakan rokoknya. Dan yang jelas, aku telah melewatkan bis terakhir, menuju rumah. Apa boleh buat, kuputuskan untuk berjalan pulang. Jarak yang kurang lebih tujuh kilometer kupikir akan cukup membuatku lelah, dan membantuku untuk dapat lekas tidur sesampai di rumah. Begitulah Ning, aku lalu berjalan pulang. 


Belum lima ratus meter aku meninggalkan halte yang kosong itu, aku dikejutkan oleh suara perempuan. Meski tak mirip suaramu, tapi satu kata yang berulang keluar dari mulutnya di sela racauan yang tak karuan, mengingatkanku kepadamu, memaksaku menghentikan langkah, lalu berpaling. Seorang perempuan paruh baya tangannya teracungacung di belakangku, di seberang jalan. Dari jarak empat puluh meteran aku melihatnya, ia terus menyeret kaki-kakinya, makin dekat dan semakin dekat, hingga aku dapat lebih jelas melihat sosok tubuhnya, rambutnya yang riap-riapan, bajunya yang basah robek di sana-sini, perut buncitnya yang lima bulan, menyimpan puting beliung yang tengah dikandungnya. Terseokseok ia menyusuri jalan itu.

Isak tangis dan sumpah serapah tak henti berhamburan dari mulutnya. Sementara tangannya  bergerak pelan menyayat kulit tubuh dengan sebilah pisau dapur. Dari dada melewati leher sampai ke wajah yang terlihat menyimpan bertumpuk kepedihan yang tak bakal berani kau bayangkan. sayat demi sayat berulang di tingkah racauan dan ketika sampai pada satu kata yang membuatku bergidik, ia mengacungacungkan tangannya yang menggenggam pisau itu ke langit. Malam itu, selain aku dan perempuan itu, tak kulihat ada makhluk lain. Jalan kota menjadi begitu nyaris lengang, menjadi panggung pertunjukkan yang hanya milik kami berdua. 

Ia terus berjalan, Ning,

Dan aku mengikutinya dari seberang. Kami beriringan di kedua sisi trotoar jalan itu. Enam kilometer lebih, kami khusyuk sebagai unsur pembentuk sebuah pertunjukkan, aku menjadi penonton dan aktrisnya tentu saja perempuan paruh baya itu, yang seluruh gerak tubuhnya hampir tak ada yang sia-sia, sungguh memukau. Memasuki sepertiga akhir malam, drama yang memilukan ini belum juga berakhir.  Sampai kemudian tiba di sebuah perempatan yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumahku, langkahnya terhenti, isak tangis, sumpah serapah mereda dan seluruh tubuhnya geming tak bergerak. Sesaat  itu waktupun ikut berhenti. Sesaat yang  sungguh sunyi, sebelum kemudian dipecah oleh suara tawanya yang amat panjang, tawa seorang perempuan yang belum pernah kudengar. Seperti ujung paku yang menggores panjang permukaan logam, luar biasa mengerikan. Hingga jantungku yang tadinya tak beraturan berdegup keras, sesaat berhenti. Kesiur angin tibatiba terasa begitu dingin dan hitam, begitu menggigilkan.

Kemudian nyaris bebarengan dengan terayunnya pisau dapur menikam perutnya, ia tersungkur, ditimbun cahaya  lampu jalan yang kuning pucat. Sebuah klimaks yang sungguh dahsyat. Perlahan-lahan kuberanikan diriku untuk mendekatinya, kulihat sosok tubuh meringkuk dengan tangan mendekap perut, seluruh kulitnya seakan telah berganti warna,  merah. Begitulah ia terbaring bertilam darah. 

Kematian, dalam sebuah pertunjukkan ataupun pada kenyataan seringkali menjadi peristiwa yang teramat menyedihkan. Tapi heii, ini bukan pertunjukkan seperti di gedung-gedung teater itu, Ning. Ini sebuah kenyataan yang sejak awal tak lepas dari mataku. Kematian di sini  nyaris tanpa saksi, dan barangkali tanpa kesedihan dan air mata.

Cukup lama aku terdiam, tak tahu apa yang mesti kuperbuat. Sampai akhirnya wajahmu berkelebat, seolah hadir sebagai penonton kesiangan. Setelah kutimbangtimbang akhirnya kuputuskan untuk mengakhiri pertunjukkan yang benarbenar jahanam ini dengan menggendong tubuh perempuan itu ke rumah. Bukan pekerjaan yang ringan, tapi entahlah, malaikat ataukah iblis, yang telah merasukiku saat itu, yang pasti akhirnya aku berhasil membawa perempuan itu ke rumahku.



Ning sayangku, 

Kau tahu? apa yang akan kulakukan dengan temuanku kali ini. Ya ning, perempuan yang masih berlepotan dengan darah itu, tubuhnya kuawetkan dengan formalin, lalu setelah tubuh itu kaku, kucemplungkan ke dalam cairan fiberglas yang bening, kemudian setelah semuanya mengeras segera kukemas dengan kardus berlapis kertas perak yang berkilauan. Setelah itu baru kukirimkan dengan paket kilat kepadamu. Agar kau ngerti dan paham bahwa segala kesedihan dan rasa sakitmu, belumlah seberapa pengar, payau dan sunyi.

Setelah kau baca tulisan ini, bukalah kertas perak itu, Ning. Terimalah sebagai hadiah ulang tahunmu dariku, yang kukirimkan bersama surat ini. Maaf, jika pisau dapur perempuan itu tak kuikutkan serta. Biarlah benda itu mengantarku menyusulnya, kerna aku belum sempat minta ijin darinya, atas  kelancangan yang telah kulakukan terhadap tubuhnya. Dan sekali lagi maaf, aku tak bisa datang kepadamu, dalam arti yang sebenarnya .



Peluk ciumku, selalu

1 komentar: